《BIOGRAFI》 - Buku "Lebih Dekat Dengan SBY"
LEBIH DEKAT DENGAN SBY
Orientasi
Pada 9 September 1949 di Desa
Tremas, Arjosari, Pacitan, Siti Habibah melahirkan seorang bayi laki-laki yang
sehat jasmani dan rohani dengan selamat. Mendapat kabar jika anak yang
dinantikan telah lahir, suami Siti Habibah, Soekotjo, segera melesat ke Tremas.
Ketika melihat sang bayi, dia langsung bersujud syukur kepada Allah SWT. Karena
sang bayi sehat walafi’at. Lalu Soekotjo memberi nama putra semata wayang itu:
Susilo Bambang Yudhoyono, Susilo berarti ‘orang yang santun dan penuh
kesusilaan’, Bambang adalah ‘kesatria’, Yudho bermakna ‘perang’, sedangkan Yono
berarti ‘kemenangan’.
Susilo
tumbuh dan berkembang sebagai anak desa yang cerdas dan pandai bergaul. Soekotjo
mengajari putranya untuk bekerja keras dan disiplin. Sedangkan, sang ibu
mendidiknya dalam urusan keimanan dan ketakwaan. Perpaduan antara kebiasaan
disiplin dan takwa menempa kehidupan Susilo sejak kecil. Tempaan kedua
orangtuanya membuat Susilo terbiasa menghadapi kehidupan keluarga yang serba
seerhana.
Susilo
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Gajahmada (sekarang SDN Baleharjo
I ) di Desa Purwosari Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan. Pada uisa ini,
dia sudah pandai menata penampilan. Tak heran bila ia terkenal sebagai murid
ternecis di sekolah dasarnya.
Tekadnya sebagai prajurit kian
kental aat kelas V SD (1961) ia berkunjung ke Akademi Militer Nasional di
Kampus Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Sejak mulai tinggal bersama
pamannya, Sastro Suyitno, agar sekolahnya tidak terganggu oleh pekerjaan
ayahnya sebagai tentara yang sering berpindah tugas, Susilo terbiasa mandiri
karena harus mencari dan menentukan kebutuhan dan kemauannya.
Pada
Juli 1962, Susilo lulus SR dengan nilai terbaik. Kemudian, dia melanjutkan
pendidikan ke SMP Negeri Pacitan. Dengan
berteladan ayah dan keterpisahan dari orangtua, Susilo berkembang menjadi anak
yang mandiri, memiliki banyak kelebihan dibandingkan anak lain walaupun dia
juga menjadi orang y ang cenderung mengalah, tak jarang merendah, dan sopan
terhadap orang lain.
Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan semenjak di bangku SMP terus berlanjut hingga Susilo bersekolah
di SMA 271 (sekarang SMA Negeri Pacitan). Namun, pada saat itu Soekotjo dan
Siti Habibah bercerai. Sang ayah kemudian kembali menikah dan menetap di
Pacitan, sedangkan sang ibu memilih tidak menikah lagi dan menetap di Blitar.
Akhirnya,
Susilo Bambang Yudhoyono menamatkan sekolah pada 1968. Dia kemudian memilih
masuk ke Pendidikan Guru Sekolh Lanjutan Pertama (PG-SLP) di Malang, Jawa
Timur. Di sinilah dia mempersiapkan fisik, mental, dan intelektual agar tahun
berikutnya dapat mengikuti ujian penyaringan Akademi Militer Nasional (AMN)
tingkat daerah di Jawa Timur dan tingkat pusat di Bandung, Jawa Barat.
Menjelang
akhir 1969, Susilo mendaftar di Malang, kemudian menjalani tes lanjutan di
Bandung. Pendidikan militer pun akhirnya ditempuh Susilo di Magelang, Jawa
Tengah, pada awal 1970.
Rangkaian Peristiwa
Selama menempuh pendidikan militer
sebagai taruna di AMN, SBY berhasil meraih tujuh bintang penghargaan dalam
waktu empat tahun. Prestasi ini belum pernah diraih oleh taruna mana pun. Pada
11 Desember 1973, dia mengakhiri masa pendidikan militer dengan predikat
terbaik diantara 987 taruna lulusan seangkatannya.
Dengan
pangkat letnan dua infanteri (NRP 26418), SBY berhak mendapatkan penghargaan
Bintang Adhi Makayasa (setara dengan summa cum laude) sebagai lulusan
terbaik dan Tri Sakti Wiratama, sebuah penghargaan atas prestasi tertinggi dari
gabungan antara mental, fisik, dan intelektual. Kala itu, Presiden Soeharto
berkenan secara langsung menyematkan bintang tersebut kepadanya.
SBY
melanjutkan pendidikan militernya di Airbone and Ranger Course di Fort Benning,
Georgia, AS (1976). Sedangkan, perjalanan karier militer SBY dimulai dengan
memangku jabatan sebagai Komandan Peleton III di Kompi Senapan A Batalion
Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma Kostrad (1974-1976). Dia membawahi langsung
sekira 30 prajurit.
Batalion
Linud 330 merupakan salah satu dari tiga Batalion di Bridge Infanteri Lintas
Udara 17 Kujang I/Kostrad yang memiliki nama harum dalam berbaga operasi
militer. Ketiga Batalion itu ialah Batalion Infantri Lintas Udara 330/Tri
Dharma, Batalion Infantri Lintas Udara 328/Dirgahayu, dan Batalion Infantri
Lintas Udara 305/Tengkorak. SBY memimpin pleton ini bertempur di Timor Timur.
Sepulang
dari Timor Timur, Sby menjadi Komandan Pleton Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad
(1977). Setelah itu, dia ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabigrif Linud 17
Kujang I Kostrad (1977-1978), dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981),
dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982).
Ketika
bertugas di Mabes TNI Angkatan Darat, SBy kembali mendapat kesempatan sekolah
ke AS. Dia mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, pada
1982-1983 sekaligus praktik kerja di 82-nd airbone division, Fort Bragg (1983).
Kemudian, dia mengikuti Jungle Warfare School, Panama (1883) dan Antitank
Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), serta Kursus Komando Batalion, 1985. Pada saat bersamaan, SBY menjabat Komandan
Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985).
SBY
dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1989) dan Paban Madyalat Sops
Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando
TNI Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung dan menjadi Lulusan Terbaik Seskoad
1989.
SBY
juga sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992) dan ditempatkan di Dinas
Penerangan TNI AD dengan tugas antara lain membuat naskah pidato Kepala Staf
Angkatan Darat Jenderal Edi Sudrajat. SBY kembali bertugas di satuan tempur
ketika diangkat menjadi Brigade Infanteri Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17
Kujang I/Kostrad (1993-1994) bersama Letnan Kolonel Ryamizard Ryacudu.
Kemudian,
dia menjabat Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam
IV/Diponegoro di Yogyakarta (1995). Tak lama kemudian, SBY pada 1995 dipercaya
bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB yang bertugas
mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia berdasarkan kesepakatan
Dayton, AS, antara Serbia, Kroasia, dan Bosnia Herzegovina.
Setelah
kembali dari Bosnia, SBY diangkat menjadi kepala Staf Kodam Jaya (1996)
sekaligus ketua Bakorstanasda dan ketua Fraksi ABRI MPR (sidang istimewa MPR
1998) sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial ABRI (1998-1999).
Disepanjang
karier militer tersebut, SBY tidak hanya sekali berada di pusaran krisis dan
konflik politik nasional. Misalnya, dalam kasus Peristiwa 27 Juli 1996, yaitu
penyerangan terhadap kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl.
Diponegoro NO. 58, Jakarta.
Sementara,
karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memustuskan untuk
pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri
Pertambangan dan Energi pada pemrintahan presiden K.H Abdurrahman Wahid. Tak
lama kemudian SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagi Mentamben karena
Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam.
Pada
tanggal 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi
Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Tetapi pada 11 Maret 2004, beliau memilih
mengundurkan diri dari jabatn Menko Polkam. Langkah pengunduran ini membuanya
lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak
kepemimpinan nasional.
Berdirinya
Partai Demokrat pada 9 September 2002 menguatkan namanya untuk mencapai puncak
karier politik. Ketika Partai Demokrat dideklarasikan pada 17 Oktober 2002,
namanya dicalonkan menjadi presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2004.
Setelah
mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam dan sejalan dengan masa
kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, ia secara resmi berada dalam
koridor Partai Demokrat. Keberadaannya dalam Partai Demokrat menuai sukses
dalam pemilu legislatif dengan meraih 7,45 % suara. Pada 10 Mei 2004,
tiga partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia, dan Partai Bulan
Bintang secara
resmi mencalonkannya sebagai presiden berpasangan dengan kandidat wakil
presiden Jusuf Kalla.
Dan
akhirnya, pada pemilu Presiden langsung putaran kedua 20 September 2004, SBY
yang berpasangan dengan Jusuf Kalla meraih kepercayaan mayoritas rakyat
Indonesia dengan perolehan suara di atas 60 persen. Dan pada tanggal 20 Oktober
2004 beliau dilantik menjadi Presiden RI ke-6.
Selama
menjadi presiden, banyak deraan menimpa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada
awal pemerintahannya, ada idiom SBY adalah “presiden bencana” karena banyaknya
benana alam yang menimpa Indonesia.
Meski
demikian, dia memiliki catatn sukses. Pada masa pemerintahannya, konflik Aceh
dapat terselesaikan. Begitu pula dengan pemberantasan korupsi yang realisasinya
jauh lebih bagus dibandingkan presiden-presiden sebelumnya.
Kemudian
setelah akhir jabatannya pada tahun 2009, ia kemudian mengumumkan akan maju
lagi sebagai calon presiden dengan yang didampingi oleh Boediono sebagai
Cawapres yang diusung oleh partai Demokrat. Setelah pemilihan umum pada tahun
2009, SBY kemudian terpilih untuk kedua kalinya sebagai presiden dengan masa
jabatan 2009 hingga 2014 bersama Boediono sebagai wakil presiden.
SBY
menikah dengan Kristiani Herrawati di Jakarta pada 30 Juli 1976. Kristiani
adalah putri dari almarhum Mayor Jenderal (Purn.) TNI Sarwo Edhie Wibowo,
mantan Komandan Jenderal Resimen Para Komando Angkatan Darat.
Namun,
semula hubungan SBY dan Ani membuat khawatir ayah SBY, Soekotjo. “Apa tidak njomplang
statusmu dengan anak gubernur yang pangkatnya mayor jenderal?” tanya Soekotjo.
Akan tetapi kekhawatiran itu tak terbukti karena hubungan SBY dan Ani baik-baik
saja dan tidak ditentang oleh keluarga Sarwo Edhie.
Lima
hari setelah menikah, Ani segera diboyong SBY ke asrama batalion 330 di Dayeuh
Kolot, Bandung. Ia hendak diperkenalkan SBY sebagi istri kepada keluarga besar
Brigade Infanteri (Brigif) Lintas Udara 17 Kostrad.
SBY
ketika itu menjabat Komandan Peleton 3 Kompi A Yonif Linud 330. Namun, pada
hari itu juga ia mendapat perintah untuk bergegas ke Timor Timur, menyusul
sejumlah anggota pasukan yang sudah lebih dulu berangkat. Beberapa bulan
kemudian, SBY pulang dalam kondisi selamat. Sepuluh tahun kemudian, kejadian
yang sama kembali terulang.
Pada
bulan Desember 1977, Ani hamil anak pertama. SBY pun sangat senang. Dia adalah
anak tunggal. Ada rasa takut pada diri SBY jika istrinya susah hamil.
Rumah
tangga SBY dan Ani akhirnya dikaruniai dua orang putra, yaitu Agus Harimurti
Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono. Kehidupan keluarga ini berjalan
harmonis. Sebelum memutuskan sesuatu, mereka selalu mengedepankan musyawarah.
SBY tak pernah mengambil keputusan, apalagi jika tentang rumah tangga, sebelum
berbicara dengan istrinya.
Reorientasi
Apabila ditelisik lebih mendalam,
faktor figur SBY sangat ditentukan oleh kepribadian SBY. SBY adalah seorang
mantan militer yang berjiwa demokrat dan mampu menunjukkan pesona pribadi yang
memikat hati rakyat.
Sikap
santun terlihat dari gaya komunikasi SBY. Dalam berkomunikasi, dia selalu
berupaya bersikap interaktif. Dia terlihat berupaya mendengar apa yang
disampaikan lawan bicaranya dan tidak memotong penbicaraan orang lain. Dalam
sikap interktifnya, dia tampak sangat menyimak pembicaraan orang lain,
menyimpulkan, mengambil intisari, kemudian mengomentari secara proporsional.
SBY
pun rendah hati, bukan seorang megalomaniak yang hanya mengagungkan diri. Dia
jauh dari sikap feodal. Dia berupaya secara lapang dada menerima kritik dengan
tetap mengedepankan sikap rendah hati. Tidak terlihat sikap dendam pada dirinya
dalam menghadapi orang-orang yang pernah menyakitinya.
SBY
juga sosok yang realistis, setia kawan, dan pemaaf. Dia bahkan memiliki
kemampuan intelegensia, manajemen, dan pengorganisasian yang baik. Kekuatan
pribadi yang dimiliki oleh SBY ini tampaknya cukup mampu mengatasi kekurangan
yang ada. Dia kelihatan semakin dicintai oleh rakyat dan memperoleh simpati
dari berbagai kalangan.
Loh loh
BalasHapusGa cape ngetik ?😂
BalasHapus